Sastra merupakan hasil cipta karsa manusia yang tertoreh dalam bentuk
tulisan ataupun lisan, sastra itu sendiri bisa tercipta dari kejadian
alam dan lain-lain. Dalam Al-Qur’an telah disinggung tentang penyair,
penyair didalam Al-qur’an di bagi menjadi dua, yaitu penyair sesat dan
penyair beriman. Sebelum lebih jauh ke pembahasan, kita simak terjemahan
QS. Asy Syua’araa: 224-227 sebagai berikut;
(224) Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat.
(225) Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah,
(226) dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak
mengerjakan (nya)?,
(227) kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal shaleh dan
banyak
menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kedzaliman.
Dan orang-orang yang dzalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana
mereka akan kembali.
***
Sastra profetik : Sastra Ibadah
Pada
awalnya istilah semanagat profetik diajukan oleh Abdul Hadi W.M untuk
menyebut relevansi sastra keagamaan yang mendalam sebagai pusat
bertemunya dimensi sosial dan transcendental didalam penciptaan karya
sastra. Sebelum Abdul Hadi W.M, kuntowijoyoyo dalam temu budaya 1986 di
TIM pernah membicarakan perlunya menegakkan ‘Etika Profetik’ yakni suatu
etika yang ‘berakar di bumi dan juga berakar di langit’. Sastra
profetik yang ditawarkan oleh kuntowijoyo mempunyai keinginan sebatas
bidang etika -Sebagai satra Ibadah- dengan sukarela tidak memaksa.
Etika tersebut disebut ‘Profetik’ dikarenakan ingin meiru perbuatan
Nabi, sang Prophet. Sastra profetik bermaksud melampaui keterbatasan
akal-pikiran manusia dan mencapai pengetahuan yang lebih tinggi. Guna
memenuhi keperluan tersebut, sastra profetik merujuk pada enafsiran
kitab-kitab suci atas realitas.
Menurut kuntowijoyo, dalil mengenai sastra profetik ini dapat ditemukan dalam QS. Ali Imran 110, yang artinya: Kamu
adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruk
kepadayang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada
Allah. Ayat ini menyatakan keterlibatan manusia dalam sejarah (ukhrijat Linnas), setelah adanya keterlibatanmanusia dalam sejarah ayat tersebut berisi tiga hal yaitu, Amal ma’ruf (menyuruh kebaikan, humanisasi), nahi mungkar (mencegah kemungkaran, liberalisasi), dan tu’minuna billah
(beriman kepada Allah, Transendensi). Etika Profetik yang berisi
humanisasi, liberalisasi dan transendensi ini menjadi pelayan bagi
seluruh ummat menusia: rahmatan lil ‘alamin.
Sastra
profetik secara garis besar bisa juga dikatan sebagai sarana dakwah
untuk menyebarkan agama islam, karena di dalam islam itu sendiri telah
mengajarkan tentang kebaikan dan beriman kepada Allah. Nabi Muhammad
SAW. dalam sebuah khadist yang diriwayatkan oleh Abu hurairah ra. pernah
menyebutkan tentang syair terbaik yang memuat semangat profetik sebagai
berikut: Dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda: Bait syair (puisi)
paling bagus yang pernah diucapkan oleh orang-orang arab adalah bait
syair Labid; ketahuilah, segala sesuatu selain Allah adalah bathil.
Meskipun demikian Nabi Saw pernah memberikan nasehat yang berkaitan
dengan syair dalam sebuah khadist, juga diriwayatkan oleh Abu Hurairah
ra. Rasulullah SAW bersabda: perut seseorang itu lebih baik penuh dengan
cairan nanah yang dapat merusak tubuh daripada penuh dengan syair.
Inilah penjelasan yang signifikan antara penyair beriman dengan penyair
sesat yang terdapat dalam QS. Asy Syu’araa’ 224-227. Jadi dengan adanya
sastra profetik dapat mengimbangi bahkan melebihi sastra sesat. (Junian)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar