Rabu, 06 Maret 2013

Cerpen *Sadar Karena Musibah


Cerpen Rio Pamungkas
SADAR KARENA MUSIBAH
            Kaliman adalah sebuah desa kecil yang berada didekat bantaran anak sungai bengawan solo. Desa yang sejuk dengan pepohonan sejenis mangga, kedondong, dan mlinjoini seakan menjadi payung payung raksasa yang siap meneduhkan hati bagi siapa saja orang yang melewatinya. Pagi itu udara sangat sejuk, seakan tak mau kalah dengan embun pagi, padi padi yang masih menghijau pun turut menyambutku dengan lambain lentik sulur daunya sepanjang perjalananku ke sekolah. Sekolahku memang terletak di Desa tetangga dan perjalanannya harus melewati pematang sawah sekitar 2 Kilo, jarak yang cukup menyebalkan untuk seukuran anak SMP sepertiku. Sebut saja namaku Lia, gadis desa 14 tahun yang suka mandi di kali, bukan hanya aku, Dhani,  Indri dan juga Agung adalah sahabat sahabat setiaku yang juga sama gemarnya menjadi petualang air. Aku adalah seorang anak petani yang kesehariannya selain bersekolah adalah membantu Ibu menanam padi saat musim tanam juga memanen padi saat musim panen telah tiba.
Menjadi seorang anak yatim memang terbilang menyedihkan untuk aku jalani, namun aku tak pernah patah semangat karena aku masih mempunyai seorang Ibu yang dengan tulus membesarkanku sampai sekarang. Ayah memang telah lama wafat, saat itu umurku barulah genap 6 tahun, sebuah peristiwa yang tidak pernah bisa aku lupakan dan menjadi pelajaran hidupku hingga aku beranjak dewasa.
***
“Pak tadi pagi Bapak dicari Pak Lurah, katanya ada perlu” ujar Ibu.
Ayah yang baru saja pulang dari membersihkan hama rumput di sawah padinya segera bergegas menuju balai desa yang letaknya tak terlalu jauh dari rumah.
“Ayah..., Lia boleh ikut?” pintaku.
“Jangan.., Lia temani Ibu saja dirumah, Ayah cuman ada urusan sebentar ko” jawab Ayah.
“Ayolah yah..., ajak Lia.., Lia ingin jalan jalan sama Ayah..”
“Sudahlah Pak..., diajak saja anaknya, bapak dari seharian juga disawah, Lia anak kita merasa kehilangan ayahnya” sahut Ibu.
“Tapi...”
“Sudah ajak saja daripada Lia ganggu Istrimu ini masak lodeh kesukaanmu. Apa mau nanti jadi keasinan gara gara dimasukin garam sama anakmu?”
“Yasudah kalo gitu..”
Aku dan ayah akhirnya berangkat bersama menuju balai desa, sesuai apa yang telah disampaikan Ibu yang mendapat amanah dari Pak lurah. Seakan tamu kehormatan, sesampainya dibalai desa kami langsung disambut oleh warga yang sudah lebih dulu hadir dan tak lama kemudian Pak lurah juga datang menghampiri kami berdua yang kelihatannya memang kamilah yang paling terakhir datang.
“Maaf Pak lurah, saya baru pulang dari sawah, tadi ada sedikit masalah di sawah, bnyak smpah masuk ke irigasi” ujar Ayah.
“Oh ya, Pak Joyo tidak perlu khawatir, kita juga baru akan mulai” sahut Pak Lurah.
“Ngomong-ngomong rapatnya mau bahas masalah apa ya pak?”
“Anu.., itu lho Pak.., air di tanggul udah sangat tinggi gara gara hujan yang terus terusan turun minggu minggu ini, soalnya resapan air di sekitar tanggul penuh dengan sampah warga bantaran sungai” jawab Pak lurah.
Ayah dan pak lurah kemudian masuk ke dalam pendopo yang memang sudah sejak dulu  dijadikan tempat untuk berkumpul warga baik acara rapat maupun acara keagamaan, bahkan terkadang juga acara resepsi pernikahan diadakan di tempat tersebut karena saking luasnya. Bukan hanya itu pendopo desa kami memang terkenal indah dan megah apalagi dengan ukir ukiran khas Jawanya.
Selang beberapa saat acara dimulai aku melihat Indri memanggil manggilku dari balik pohon dekat pendopo.
“Lia..., sssth... Lia.., sini...!”
“Ya... sebentar In..” aku bergegas menghampirinya dan ayah pun membiarkanku pergi menemui temanku.
“Ayo ke kali.., airnya lagi banyak.., Dhani sama Agung udah nungguin nih, cepet !”
“Sip.., aku juga mumpung lg belom mandi dari pagi, ahihihi..”
“Ih.. dasar Lia.. jorok banget..., aku joga belom, hahaha” kamipun tertawa terbahak bahak.
Tak lama kemudian kamipun tiba di pinggir kali yang favorit tempat kita biasa mandi, yakni kali di pinggir waduk, di sana sudah ada Dhani dan Agung yang sejak tadi menunggu kedatangan kami di bawah pohon pisang dekat kali.
“Lho.. kok ada monyet dipinggir kali sih..” ledekku.
“wuu... udah telat pake ledekin kita kamutu Ia..” sahut Dhani.
“Ia nih.., Dhani kan kebo bukan monyet” celetuk Agung.
Asem.. kamu Gung, mau aku dudukin apa badanmu itu biar remuk sekalian” balas Dhani.
“Udah udah.., kaok jadi pada berantem sih, katanya mau main dikali?” sambungku.
“Siip... deh kalo itu..” jawab Dhani dan Agung serentak.
Dhani memang punya postur yang cukup gendut dan Agung mempunyai badan yang kurus, namun kalo masalah renang baik Dhani maupun Agung tidak bisa diremehkan meskipun kita masih precil, sedangkan Indri anak perempuan yang punya postur paling tinggi diantara semuanya meskipun kita semua seumuran, sedangkan aku yang paling pendek tapi kulitku adalah yang paling putih karena konon katanya nenekku adalah keturunan Cina.
Kamipun satu persatu mulai menceburkan diri ke kali, byur byur byur..,masing masing dari kami meloncat dari dahan pohon mangga yang memang posisinya menjorok ke atas kali, namun aku heran karena tidak melihat Agung ikut menceburkan diri.
“Dhan.., Agung kemana..?” tanyaku
“Ndak tau.., perasaan dia tadi dibelakangku Ia”
Tiba tiba dari arah belakang muncul Agung yang naik di atas pohon pisang yang dibuat seperti rakit. Ternyata Agung memang sengaja tidak ikut melompat karena ingin menunjukkan mainan barunya kepada kami.
“Wuih,. Kreatif juga kamu Gung..” tukas Indri.
“Ia.., boleh dong aku ikut naik?” pinta Dhani.
“wuh... ya jangan.., bisa tenggelam ini kapalku kalo kamu yang naikin,” jawab Agung
“Ahh... ga asik kamu Gung..., punya mainan di pake sendiri, dasar pelit..” celetuk Dhani.
“Hala... yasudah to.., kamu ga usah ikut naik kan ga apa tho Dhan.., lha kamu ga naik apa apa juga udah ngapung kok” sahutku.
“Hahahahah... “ Semuanya tertawa.
Saat kami sedang asik mandi dikali tiba tiba hujan turun, namun seakan tak perduli justru kita makin asik main dikali, dan di sisi lain Ayah yang sudah selesai melaksanakan acara rapat kebingungan mencariku karena sesampainya dirumah Ayah tidak mendapatiku dan hujanpun justru semakin deras turun sehingga semakin membuat Ayahku cemas.
“Buk.. lia anak kita kemana?”
“Lho... Bapak ini gimana tho.., kan tadi pergi sama Bapak..” jawab Ibu.
“Aduh..., kemana perginya anak ini, udah ujan begini kok tidak pulang pulang?”
“Piye Pak..., cepet dicari.. nanti anak kita kenapa napa..!” pinta Ibu.
Ayah dengan tergopoh gopoh mengambil payung yang tersandar di samping pintu lalu segera mencariku tanpa banyak tanya lagi.
***
“Lia.., Pulang yuk... aku takut Bapak Ibuku nyariin aku..” ajak Indri.
“Ahh.. nanggung Ndri..., lagi asik nih kita..., airnya jadi berombak kaya dilaut..” sahut Dhani.
“Ia nih Ndri.. lagi asik.., bentar lagi yah, kapal kapalannya seru nih” rayuku.
Tak lama kemudian air tiba tiba bergelombang kuat, kami yang tadinya asik bermain pun menjadi takut dan segera menuju ketepian. Agung yang berada di atas rakit langsung meloncat ke air dan berenang menepi begitu juga Dhani, sedangkan aku dan Indri masih di atas rakit.
“Lia.. ayo cepetan ke tepi..”
“Ia bentar.., aduh.. kakiku kejepit ini...” jawabku
“Lia.. aku takut nih..,” Indri semakin takut dan terlihat hampir menangis.
“Yasudah kamu duluan aja, aku nyusul bentar lagi”
Indri pun menyusul Agung dan Dhani yang sudah hampir sampai ke tepi, sedang aku sibuk mencabut kakiku yang terjepit diantara sela-sela rakit yang terbuat dari batang pohon pisang. Tak lama kemudian terlihat dari kejauhan nampak air bah yang menderu menuju tempatku berada. Seketika itu aku hanya bisa berteriak dan menangis minta tolong. Agung dan Dhani  yang sudah sampai ke tepi pun hanya bisa memanggilku dan berteriak minta tolong, sedangkan Indri hanya menangis melihatku tak berdaya di tengah tengah kali yang semakin membuatku terombang-ambing.
Air bah semakin mendekat dan aku hanya bisa pasrah, ketika aku sudah merasa sudah tidak ada harapan lagi tiba tiba terdengar suara seseorang meloncat ke arahku. Byur..., nampak seseorang berenang dengan cepat ke arahku, aku pun hanya bisa berdoa semoga aku bisa segera diselamatkan. Betapa terkejutnya aku ketika aku tahu orang yang berenang kearahku adalah Ayahku sendiri yang sedari tadi mencariku karena tak kunjung pulang. Ayah melepaskan kakiku dari sela batang pisang dan kemudian menggendongku sambil berenang menuju ketepian, namun ketika aku dan ayah hampir sampai ketepi tiba-tiba air bah menghantam kami dan yang terakhir dapat ku ingat saat itu tubuh kecilku terlempar ke pinggir sungai dan ayahku sendirilah yang melemparkanku. Didepan mataku sendiri aku melihat Ayah tergulung arus sungai hingga tak terlihat lagi tubuhnya, tubuh yang setiap hari kulihat, tubuh yang selalu sabar memelukku ketika aku hendak tidur, tubuh yang selalu menyayaiku tanpa pertanyakan apa yang bisa kau baktikan pada Orang Tua. Aku menais, menangis sejadi jadinya. Namun suara hujan dan guntur yang semakin menjadi jadi seakan tak mau kalah dengan jeritan kesedihanku. Aku memanggil ayahku berulang ulang, “Ayah.... Ayah... Ayah...,” namun tak kudengar juga suara Ayahku membalas panggilanku.
***
Sejak saat itu aku menjadi seorang anak yatim, Ayahku dapat ditemukan warga pada esok harinya setelah warga bersama sama menelusuru sungai tempatku bermain, Ibuku yang sudah lama menunggu akhirnya jatuh pingsan ketika melihat jasad Ayahku berhasil ditemukan dan aku pun hanya bisa meratapi kenakalanku sambil menangis tak henti-hentinya. Beberapa hari setelah musibah terjadi terdengar kabar warga bahwa air bah yang saat itu menghantam desa kami terjadi karena sampah-sampah yang dibuang kesungai dan nyebabkan volume air naik sehingga terjadilah banjir. Sejak saat itu warga tidak lagi membuang sampai di Kali-kali, dan aku yang kehilangan sosok Ayah selalu melihatnya tersenyum ketika aku duduk melihat jernihnya air di Desaku.
“Ayah...”

Rio Pamungkas
Yogyakarta, 29 Februari 2013