Kamis, 25 Juli 2013

Cerpen *Taman Mimpi*



Wanita itu berteriak-teriak minta tolong, seseorang membawanya dengan paksa, aku berusaha mengenali wajah itu, namun semua terlihat samar-samar. Dalam jeritan-jeritan yang terus memanggil namaku, sosok wanita itu terasa begitu mengikat batin, seolah ia adalah kekasihku yang hendak diambil orang. Aku mengejarnya, kuulurkan tanganku, tetapi entah, semakin aku mencoba semakin berat langkah ini dan tanganku tak juga sampai meraihnya.
“Jangan! Jangan! Lepaskan dia...!” Aku mencoba memanggilnya, berteriak sekencang-kencangnya, namun semua kata-kataku seperti lenyap begitu saja dan  tiba-tiba kakiku seperti tersangkut sesuatu. Bruk!?
“Aduh..., sial..., sakit sekali...” kepalaku membentur lantai. Mimpi lagi, dan ini sudah yang ketiga kalinya aku memimpikan hal yang sama. Aku merasa ada yang tidak beres. Mungkin ini pertanda buruk, tetapi Tidak! Aku bukan paranoid, namun jika aku harus memimpikan hal yang sama setiap harinya, bisa jadi aku akan benar-benar gila.
“Diki, ya, Diki.” Tiba tiba nama itu yang muncul di benakku. Entahlah, ketika ada hal yang berbau mistik selalu saja aku merasi Diki adalah pawangnya, dan sekarang aku merasa ini adalah saat yang tepat untuk berkonsultasi.
***
Sekumpulan makhluk abu-abu menyergapku, mereka menyekapku sehingga aku sulit untuk bernapas. Asap mobil dan motor ini lagi, aku merasa mereka benar-benar hidup dan itu adalah maha karya para manusia yang setiap tahunnya memperingati hari Bumi dengan meriah. Ironis.
Arlojiku menunjukkan pukul 07.00 WIB. “Telat!” Aku mengayuh sepeda secepat mungkin menuju ke sekolah.
“Pagi Bu, maaf telat...” Sapaku dari arah luar pintu masuk kelas.
“Rio, kamu telat lagi!” Bu Rini membalas ucapanku dengan nada agak kesal. Aku mulai sedikit takut jika saja aku sampai tidak diperbolehkan mengikuti pelajarannya. Tetapi sepertinya ini bukanlah hari sialku karena Bu Rini akhirnya memperbolehkan aku untuk duduk.
Dengan napas yang masih terengah-engah aku menuju tempat dudukku, sayup-sayup dari bangku belakang paling pojok terdengar seseorang membicarakanku. Kata-katanya seperti mengejek tetapi aku pura-pura tak mendengar.” Terserah lah,” gumamku dalam hati.
“Teng... Teng... Teng...” bel istirahat berbunyi. Pelajaran pagi ini berjalan normal seperti biasanya.
”Huft...akhirnya selesai juga.” Ujarku. Sejauh ini aku tidak menemukan kejanggalan atau hal-hal yang aneh. Namun mimpi yang sering muncul akhir-akhir ini tetap saja membuatku resah.
“Hai, Rio... sedang apa kamu, pagi-pagi kok melamun?” Diki memanggilku dari arah pintu masuk kelas. Pucuk dicinta ulam pun tiba, orang yang aku harapkan akhirnya muncul dengan sendirinya.
Diki memang tak sekelas denganku, Aku kelas 2A sedangkan Diki kelas 2C, meskipun demikian aku berteman akrab dengannya. Aku mengenalnya saat kami berkemah bersama pada sebuah acara Pramuka di daerah pegunungan Pacet Jawa Timur. Dia datang seperti seorang pemburu hantu dengan pasak dan tongkat pemukul, saat itu kami sedang tersesat dan satu dari kelompok kami nampak kejang-kejang seperti kesurupan. Apa yang sanggup aku perbuat pada saat itu, tetapi untunglah, Diki dapat mengobati teman kami, dan mengantar kami kembali ke perkemahan. Sejak itu lah aku meyakini Diki adalah orang pintar.
“Ssthh... Dik, sini cepet...” aku memanggilnya.
Diki menghampiriku. Ia datang sambil memicingkan mata dengan tatapan tajam kearahku. Sekarang ia duduk tepat disebelah kananku dan ruang kelas kini telah benar-benar sepi.
“Jadi begini Dik.. Aku..”
“Stop!” tiba-tiba Diki memotong pembicaraan. Ia masih mengamatiku dengan tatapan matanya yang misterius.
Kamu akan bertemu seseorang, ya, seseorang yang kamu sayangi, tetapi hanya 3 kali terbit matahari, ya, setelah itu ia akan ikut terbenam bersamanya, kecuali kau dapat memusnahkan kutukannya sebelum terlambat!” Kini Diki lebih mirip seorang peramal kerajaan, seorang peramal yang membaca mimpi seorang raja dan mengabarkan bahwa akan terjadi malapetaka di Negerinya.
“Maksudnya?” aku bertanya mencoba mencari penjelasan.
Hahahaha…” Alhasil Diki menjawab pertanyaanku dengan sebuah tawa tanpa merasa dosa karena telah membuatku penasaran.
“Aku bercanda, oh ya aku ada urusan, jadi aku harus pergi sekarang, sampai jumpa” Ia pergi begitu saja setelah melemparkan kata-kata aneh itu kepadaku. Diki berkata itu hanya sebuah canda, sedang ia berkata demikian dengan ekspresi wajah yang datar.
“Sial!” aku mengumpat diriku sendiri. Kupikir aku akan mendapat jalan keluar tetapi kenyataannya justru aku mendapat masalah baru.
***
Sepanjang perjalanan pulang, aku masih saja teringat dengan kata-kata Diki, kata-kata yang seharusnya sebuah solusi dari kegelisahanku.
kamu akan bertemu seseorang, ya, seseorang yang kamu sayangi, tetapi hanya satu kali terbit matahari, ya, setelah itu ia akan ikut terbenam bersamanya, kecuali kau dapat memusnahkan kutukannya sebelum terlambat!
Aku semakin gundah, bukan hanya dengan kata-kata Diki, tetapi mimpi burukku  selama ini terasa semakin lengkap, terkombinasi sempurna seperti bom yang siap meledak.
Di tengah perjalanan pulang tak sengaja aku melihat Dewi duduk di pinggir taman terbuka dengan seorang lelaki. “Itukan Dewi, dengan siapa dia?”
Aku menaruh sepedaku di balik semak-semak, kemudian sambil sembunyi-sembunyi aku mengintip Dewi yang sedang berdua dengan lelaki tersebut, laki-laki yang sepertinya tak asing pula kukenal.
Jelas sudah, lelaki itu adalah kakak sepupunya,”Andi! tetapi kenapa ia memegang tangan Dewi seolah ia adalah kekasihnya?”
Tak lama kemudian sebuah peristiwa yang tak pernah terbayang olehku terjadi. Andi atau kakak sepupu Dewi, mencoba mencium Dewi, tetapi untunglah Dewi mengelak dan aku melihat Dewi merasa tertekan dengan keadaan itu karena ia terus saja menunduk, sepertinya ia juga menangis.
“Aduh!” taksengaja tanganku terkena duri dan sontak saja Andi menoleh ke arahku tetapi aku langsung menunduk. Bersembunyi. kemudian akupun langsung mengambil sepedaku dan bergegas pulang.
Sial, sial, sial!” aku berteriak memaki maki. Etahlah siapa yang aku maki, apakah mimpi burukku, apakah Diki dengan kata-kata Anehnya, apakah kepada Dewi yang pasrah dengan kelakuan sepupunya, apakah si Andi sepupu kurang ajar Dewi, ataukah kepada diriku sendiri yang tak dapat berbuat apa-apa?
***
Cahaya pagi mulai merayapi tubuhku yang masih lelap dalam hangatnya peraduan. Udara dingin yang sejuk kini semakin pekat memenuhi dadaku pada tiap kali kumenarik nafas. Perlahan aku pun membuka mata, lantas tersipu sambil tersenyum sendiri.
Malam ini aku tak lagi bermimpi buruk, mungkin inilah kali pertama aku bisa menghirup udara segar kembali. Tetapi bagaimana dengan Dewi, apakah dia juga tak lagi bermimpi buruk?
Dewi adalah adik kelasku, Ia kukenal saat bergabung dengan tim pramuka yang aku pimpin sebagai seorang kakak pembina. Dewi adalah satu-satunya Siswi  yang berkerudung di dalam timku, aku melihatnya sebagai seorang gadis yang sholehah karena mempunyai sikap yang ramah dan santun. Tetapi apa yang telah aku lihat kemarin nampaknya menjadi sebuah tanda tanya besar bagiku, apa yang sebenarnya telah terjadi disana. Mungkin aku hanyalah seorang kakak tingkat baginya,tetapi ”Dewi!” sepertinya aku pun punya tanggung jawab untuk mencari jawaban atas mimpi burukmu.
Seperti biasa, ketika istirahat tiba aku lebih suka menghabiskan waktu duduk di perpustakaan sekolah. Aku suka membaca buku-buku sejarah, cerita rakyat dan sedikit sastra percintaan.
Kak Rio...” seseorang memanggilku dari arah bilik-bilik buku, suaranya pelan namun aku tak asing dengan nada ini.
“Dewi!... ada apa?” ya, ternyata benar, itu suara panggilan Dewi, aku pun lantas menghampirinya.
Tanpa banyak kata dan jari-jemari itu langsung meraih tanganku. Aku bahkan belum sempat meletakkan buku yang sedang aku baca yang kemudian buku itu terjatuh begitusaja diantara kami. Aku semakin tak berkutik, tubuhku seperti tak dapat digerakkan sama sekali, yang lebih membuatku lemas ialah ketika airmatanya perlahan-lahan menetes pada genggaman tangannya yang semakin erat meremas tanganku. “Kak maaf,”
Setelah meminta maaf kepadaku Dewi langung pergi meninggalkanku. Ia pergi dengan secarik kertas yang turut ia sisipkan ketika menggenggam tanganku.  Kini perlahan aku mulai membuka lipatan kertas yang setengah basah oleh airmatanya, dengan perasaan yang berdebar kubaca juga pesan singkat itu.
Kepada kak Rio yang selalu punya senyum untukku,
Kak, aku tahu kak rio melihatku saat ditaman kemarin, mungkin itu terlihat aneh, tetapi Dewi pun tak pernah menghendakinya. Kak, jika Dewi boleh punya satu permintaan maukah kak rio mengabulkannya? Sepupu Dewi, kak Andi, akhir-akhir ini sering mengancamku dan memaksaku untuk menuruti keinginan anehnya. Aku takut kak, aku tak tahu harus meminta tolong kepada siapa, Dewi hanya tinggal bersama ibu yang sudah sakit-sakitan, dan kami tinggal dengan belas kasihan dari keluarga kak Andi. Tolong aku kak.
Adik kelasmu,
Dewi Nur Anggita
Sejenak waktu seakan berhenti, aku mencoba meraba kembali kehadirannya yang masih terasa hangat di telapak tanganku. Aku bingung harus berbuat apa, memangnya aku siapa, harus turut campurkah aku dengan masalah orang lain. Disaat aku mulai ragu dengan keputusan yang hendak ku ambil, aku teringat kembali dengan mimpi burukku juga dengan kata-kata yang telah Diki ucapkan, semua mulai terilhami olehku sekarang.
Ini sudah kali kedua matahari terbit dan esok adalah yang ketiga. Aku harus ambil keputusan sekarang atau tidak sama sekali, dan Dewi? ya, sepertinya selama ini aku memang menyukainya dan aku tak bisa pungkiri itu. “Aku harus bertindak!”
Jam pelajaran telah usai, sekarang dibenakku hanya ada satu tempat yang hendak kutuju, “Taman!”. Entahlah, tapi aku yakin aku akan menemui kembali Dewi dan sepupunya disana. Tetapi aku tak akan sendirian kali ini.
“Dik .. ayo ikut aku!”
“Ha, Mau kemana?”
“Mengusir setan!” jawabku.
-TAMAT-

*Contoh Surat Izin Tiak Masuk Kuliah*


Kepada
Yth. Bpk/Ibu Prof. Dr Suroso Sudarso
Di Kampus Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan
Universitas Ahmad Dahlan
Yogyakarta

Dengan segala hormat, saya
Nama: Rio Pamungkas
Nim: 11003156 

Tidak dapat mengikuti kuliah pada mata kuliah Kajian Puisi pada tanggal 25 Januari 2013 yang bapak asuh, dikarenakan sedang mengikuti proses pernikahan kakak di surabaya. Berhubung pentingnya acara pernikahan ini, sehingga dengan berat hati saya tidak dapat mengikuti kuliah tersebut. Jika terdapat tugas, saya akan mengerjakan pada hari berikutnya setelah saya masuk kuliah kembali. Mohon dimaklumi.
Yogyakarta, 25 Januari 2013
Mahasiswa,
Rio Pamungkas

Puisi#Anakmu#




Di balik cermin ini
Kampung halaman dan
Rumah berpagar bunga

Sesosok wajah serupa aku
Diam menatap kesunyian
Matanya berkedip kedip bercerita
Tentang hidup
Tentang harapan

Di balik cermin ini
Seorang Wanita tua
Mulutnya tak hentinya komat kamit
Menyebut, memanggil Tuhannya dan
Nama seseorang anak

Di balik cermin ini
Aku melihat dan dilihat
Berdoa dan didoakan
Merindu dan dirindukan


Rio Pamungkas
Purworejo,25 mei 2013

Rabu, 03 Juli 2013

^^ Donat Bakar ^^

komik edisi #1

^^ Jangan Membakar Ban Bekas^^


        Dalam sebuah aksi Mahasiswa menentang kenaikan harga BBM terjadilah cek cok antara Polisi dan Mahasiswa karena Polisi melihat sebuah asap tebal di tengah-tengah kerumunan massa yang sedang berdemo di depan kantor DPRD.

Polisi                : Hoy..!! siapa ini bakar-bakar ban bekas didepan halaman, ayo matikan?!

Mahasiswa       : Siapa yang sedang bakar ban bekas pak, wah bapak ini salah orang.

Polisi                : Kalian ini sudah salah masih ngotot, sudah ketahuan membakar ban bekas masih aja ngeyel, minta digebukin ya?

Mahasiswa       : Coba bapak lihat bannya, ini kan ban baru, tuh masih ada bungkus sama bandrol harganya, 
berarti kita gak salah donk? (Mahasiswa bermodal tinggi)


Polisi                : @!%^@%!

Yogjakarta, 3 July 2013

Senin, 01 Juli 2013

Puisi# Rupa Hati#

hatiku bukanlah sebongkah kayu
yang ketika kau bakar dengan amarah
hanguslah ia

hatiku bukanlah sebongkah batu
yang ketika kau timpa dengan fitnah
remuklah ia

hatiku bukanlah sebongkah besi
yang ketika kau panggang dengan permusuhan
melelehlah ia

seumpama hatiku adalah lautan yang terhampar pada segala samudra
ia akan selalu sedia memapah deru kehidupanmu
seumpama hatiku adalah langit biru yang merentangkan cakrawala
ia akan tetap pada posisinya menyaksikan segala laku kita disini

tetapi aku adalah segumpal darah yang membalut kepekaan hidup
mengalir dan bermuara melewati bawah alam sadarmu

seumpama aku tak juga tahu
sedang kau adalah bagian dari semestaku
maka musnahlah hati

yogyakarta, 27 Juni 2013