Wanita
itu berteriak-teriak minta tolong, seseorang membawanya dengan paksa, aku
berusaha mengenali wajah itu, namun semua terlihat samar-samar. Dalam
jeritan-jeritan yang terus memanggil namaku, sosok wanita itu terasa begitu
mengikat batin, seolah ia adalah kekasihku yang hendak diambil orang. Aku mengejarnya,
kuulurkan tanganku, tetapi entah, semakin aku mencoba semakin berat langkah ini
dan tanganku tak juga sampai meraihnya.
“Jangan!
Jangan! Lepaskan dia...!” Aku mencoba memanggilnya, berteriak
sekencang-kencangnya, namun semua kata-kataku seperti lenyap begitu saja
dan tiba-tiba kakiku seperti tersangkut
sesuatu. Bruk!?
“Aduh...,
sial..., sakit sekali...” kepalaku membentur lantai. Mimpi lagi, dan ini sudah
yang ketiga kalinya aku memimpikan hal yang sama. Aku merasa ada yang tidak
beres. Mungkin ini pertanda buruk, tetapi Tidak! Aku bukan paranoid, namun jika
aku harus memimpikan hal yang sama setiap harinya, bisa jadi aku akan benar-benar
gila.
“Diki,
ya, Diki.” Tiba tiba nama itu yang muncul di benakku. Entahlah, ketika ada hal
yang berbau mistik selalu saja aku merasi Diki adalah pawangnya, dan sekarang
aku merasa ini adalah saat yang tepat untuk berkonsultasi.
***
Sekumpulan
makhluk abu-abu menyergapku, mereka menyekapku sehingga aku sulit untuk
bernapas. Asap mobil dan motor ini lagi, aku merasa mereka benar-benar hidup
dan itu adalah maha karya para manusia yang setiap tahunnya memperingati hari
Bumi dengan meriah. Ironis.
Arlojiku
menunjukkan pukul 07.00 WIB. “Telat!” Aku mengayuh sepeda secepat mungkin
menuju ke sekolah.
“Pagi
Bu, maaf telat...”
Sapaku dari arah luar pintu masuk kelas.
“Rio,
kamu telat lagi!” Bu Rini
membalas ucapanku dengan nada agak kesal. Aku mulai sedikit takut jika saja aku
sampai tidak diperbolehkan mengikuti pelajarannya. Tetapi sepertinya ini
bukanlah hari sialku karena Bu Rini akhirnya memperbolehkan aku untuk duduk.
Dengan
napas yang masih terengah-engah aku menuju tempat dudukku, sayup-sayup dari
bangku belakang paling pojok terdengar seseorang membicarakanku. Kata-katanya
seperti mengejek tetapi aku pura-pura tak mendengar.” Terserah lah,” gumamku
dalam hati.
“Teng...
Teng... Teng...” bel istirahat berbunyi. Pelajaran pagi ini berjalan normal
seperti biasanya.
”Huft...akhirnya
selesai juga.” Ujarku. Sejauh ini aku tidak menemukan kejanggalan atau hal-hal
yang aneh. Namun mimpi yang sering muncul akhir-akhir ini tetap saja membuatku
resah.
“Hai, Rio... sedang apa kamu, pagi-pagi kok
melamun?” Diki memanggilku dari arah pintu masuk kelas. Pucuk dicinta ulam pun
tiba, orang yang aku harapkan akhirnya muncul dengan sendirinya.
Diki
memang tak sekelas denganku, Aku kelas 2A sedangkan Diki kelas 2C, meskipun
demikian aku berteman akrab dengannya. Aku mengenalnya saat kami berkemah
bersama pada sebuah acara Pramuka di daerah pegunungan Pacet Jawa Timur. Dia
datang seperti seorang pemburu hantu dengan pasak dan tongkat pemukul, saat itu
kami sedang tersesat dan satu dari kelompok kami nampak kejang-kejang seperti
kesurupan. Apa yang sanggup aku perbuat pada saat itu, tetapi untunglah, Diki
dapat mengobati teman kami, dan mengantar kami kembali ke perkemahan. Sejak itu
lah aku meyakini Diki adalah orang pintar.
“Ssthh...
Dik, sini cepet...” aku memanggilnya.
Diki
menghampiriku. Ia datang sambil memicingkan mata dengan tatapan tajam kearahku.
Sekarang ia duduk tepat disebelah kananku dan ruang kelas kini telah
benar-benar sepi.
“Jadi
begini Dik.. Aku..”
“Stop!”
tiba-tiba Diki memotong pembicaraan. Ia masih mengamatiku dengan tatapan
matanya yang misterius.
“Kamu akan bertemu seseorang, ya,
seseorang yang kamu sayangi, tetapi hanya 3 kali terbit matahari, ya, setelah
itu ia akan ikut terbenam bersamanya, kecuali kau dapat memusnahkan kutukannya
sebelum terlambat!” Kini Diki lebih mirip seorang peramal kerajaan, seorang
peramal yang membaca mimpi seorang raja dan mengabarkan bahwa akan terjadi
malapetaka di Negerinya.
“Maksudnya?”
aku bertanya mencoba mencari penjelasan.
“Hahahaha…” Alhasil Diki menjawab
pertanyaanku dengan sebuah tawa tanpa merasa dosa karena telah membuatku
penasaran.
“Aku
bercanda, oh ya aku ada urusan, jadi aku harus pergi sekarang, sampai jumpa” Ia
pergi begitu saja setelah melemparkan kata-kata aneh itu kepadaku. Diki berkata
itu hanya sebuah canda, sedang ia berkata demikian dengan ekspresi wajah yang
datar.
“Sial!”
aku mengumpat diriku sendiri. Kupikir aku akan mendapat jalan keluar tetapi
kenyataannya justru aku mendapat masalah baru.
***
Sepanjang
perjalanan pulang, aku masih saja teringat dengan kata-kata Diki, kata-kata
yang seharusnya sebuah solusi dari kegelisahanku.
kamu akan bertemu
seseorang, ya, seseorang yang kamu sayangi, tetapi hanya satu kali terbit
matahari, ya, setelah itu ia akan ikut terbenam bersamanya, kecuali kau dapat
memusnahkan kutukannya sebelum terlambat!
Aku
semakin gundah, bukan hanya dengan kata-kata Diki, tetapi mimpi burukku selama ini terasa semakin lengkap,
terkombinasi sempurna seperti bom yang siap meledak.
Di
tengah perjalanan pulang tak sengaja aku melihat Dewi duduk di pinggir taman
terbuka dengan seorang lelaki. “Itukan Dewi, dengan siapa dia?”
Aku
menaruh sepedaku di balik
semak-semak, kemudian
sambil sembunyi-sembunyi aku mengintip Dewi yang sedang berdua dengan lelaki tersebut,
laki-laki yang sepertinya tak asing pula kukenal.
Jelas
sudah, lelaki itu adalah kakak sepupunya,”Andi! tetapi kenapa ia memegang
tangan Dewi seolah ia adalah kekasihnya?”
Tak
lama kemudian sebuah peristiwa yang tak pernah terbayang olehku terjadi. Andi
atau kakak sepupu Dewi, mencoba mencium Dewi, tetapi untunglah Dewi mengelak
dan aku melihat Dewi merasa tertekan dengan keadaan itu karena ia terus saja
menunduk, sepertinya ia juga menangis.
“Aduh!”
taksengaja tanganku terkena duri dan sontak saja Andi menoleh ke arahku tetapi
aku langsung menunduk. Bersembunyi. kemudian akupun langsung mengambil sepedaku
dan bergegas pulang.
“Sial, sial, sial!” aku berteriak
memaki maki. Etahlah siapa yang aku maki, apakah mimpi burukku, apakah Diki
dengan kata-kata Anehnya, apakah kepada Dewi yang pasrah dengan kelakuan
sepupunya, apakah si Andi sepupu kurang ajar Dewi, ataukah kepada diriku
sendiri yang tak dapat berbuat apa-apa?
***
Cahaya pagi mulai merayapi
tubuhku yang masih lelap dalam hangatnya peraduan. Udara dingin yang sejuk kini
semakin pekat memenuhi dadaku pada tiap kali kumenarik nafas. Perlahan aku pun
membuka mata, lantas tersipu sambil tersenyum sendiri.
Malam
ini aku tak lagi bermimpi buruk, mungkin inilah kali pertama aku bisa menghirup udara segar kembali. Tetapi bagaimana dengan
Dewi,
apakah dia juga tak lagi bermimpi buruk?
Dewi
adalah adik kelasku, Ia kukenal saat bergabung dengan tim pramuka yang aku
pimpin sebagai seorang kakak pembina. Dewi adalah satu-satunya Siswi yang berkerudung di dalam timku, aku
melihatnya sebagai seorang gadis yang sholehah
karena mempunyai sikap yang ramah dan santun. Tetapi apa yang telah aku lihat
kemarin nampaknya menjadi sebuah tanda tanya besar bagiku, apa yang sebenarnya
telah terjadi disana. Mungkin aku hanyalah seorang kakak tingkat baginya,tetapi
”Dewi!” sepertinya aku pun punya tanggung jawab untuk mencari jawaban atas
mimpi burukmu.
Seperti
biasa, ketika istirahat tiba aku lebih suka menghabiskan waktu duduk di perpustakaan
sekolah. Aku suka membaca buku-buku sejarah, cerita rakyat dan sedikit sastra
percintaan.
“Kak Rio...” seseorang memanggilku
dari arah bilik-bilik buku, suaranya pelan namun aku tak asing dengan nada ini.
“Dewi!... ada apa?” ya, ternyata benar, itu
suara panggilan Dewi, aku pun lantas menghampirinya.
Tanpa
banyak kata dan jari-jemari itu langsung meraih tanganku. Aku bahkan belum
sempat meletakkan buku yang sedang aku baca yang kemudian buku itu terjatuh
begitusaja diantara kami. Aku semakin tak berkutik, tubuhku seperti tak dapat digerakkan
sama sekali, yang lebih membuatku lemas ialah ketika airmatanya perlahan-lahan
menetes pada genggaman tangannya yang semakin erat meremas tanganku. “Kak maaf,”
Setelah
meminta maaf kepadaku Dewi langung pergi meninggalkanku. Ia pergi dengan secarik
kertas yang turut ia sisipkan ketika menggenggam tanganku. Kini perlahan aku mulai membuka lipatan kertas
yang setengah basah oleh airmatanya, dengan perasaan yang berdebar kubaca juga
pesan singkat itu.
Kepada kak Rio yang
selalu punya senyum untukku,
Kak, aku tahu kak rio
melihatku saat ditaman kemarin, mungkin itu terlihat aneh, tetapi Dewi pun tak pernah
menghendakinya. Kak, jika Dewi boleh punya satu permintaan maukah kak rio
mengabulkannya? Sepupu Dewi, kak Andi, akhir-akhir ini sering mengancamku dan
memaksaku untuk menuruti keinginan anehnya. Aku takut kak, aku tak tahu harus
meminta tolong kepada siapa, Dewi hanya tinggal bersama ibu yang sudah
sakit-sakitan, dan kami tinggal dengan belas kasihan dari keluarga kak Andi.
Tolong aku kak.
Adik kelasmu,
Dewi Nur Anggita
Sejenak
waktu seakan berhenti, aku mencoba meraba kembali kehadirannya yang masih
terasa hangat di telapak tanganku. Aku bingung harus berbuat apa, memangnya aku
siapa, harus turut campurkah aku dengan masalah orang lain. Disaat aku mulai
ragu dengan keputusan yang hendak ku ambil, aku teringat kembali dengan mimpi
burukku juga dengan kata-kata yang telah Diki ucapkan, semua mulai terilhami
olehku sekarang.
Ini
sudah kali kedua matahari terbit dan esok adalah yang ketiga. Aku harus ambil
keputusan sekarang atau tidak sama sekali, dan Dewi? ya, sepertinya selama ini aku
memang menyukainya dan aku tak bisa pungkiri itu. “Aku harus bertindak!”
Jam
pelajaran telah usai, sekarang dibenakku hanya ada satu tempat yang hendak kutuju,
“Taman!”. Entahlah, tapi aku yakin aku akan menemui kembali Dewi dan sepupunya
disana. Tetapi aku tak akan sendirian kali ini.
“Dik
.. ayo ikut aku!”
“Ha,
Mau kemana?”
“Mengusir
setan!” jawabku.
-TAMAT-